"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Sabtu, 28 Maret 2015

PEMBUNUHAN

PEMBUNUHAN


Wahyu BN

Aku dituduh membunuh mahasiswaku. Ini bermula saat ia terbahak keras dengan sebab tak jelas di kelas, hingga ia jatuh dan kepalanya membentur lantai, tapi ia tak berhenti; bahaknya malah menjalak, meski suar’nya mulai serak; ia terus tertawa wa wa wa.

“Heh, kamu kenapa?!” tujuku padanya dengan suara cukup keras.
“Hahahaha. Hahahaha,” ia masih saja tertawa. “Kurang ajar…”, batinku.

“Heh, diam kamu!” kucoba menggertaknya.
“Hahahaha. Hahahaha,” tak ada yang berubah, ia justru menunjukku dari kejauhan. Asem.

Kesalku telah diubun-ubun, kuhampiri dirinya. Dan… “Braaaaaak!!!”. Kubanting keras kursi kosong di sampingnya. Ia kaget, matanya sedikit membelalak, bagusnya; ia mulai diam.

Kuawasi dirinya sambil melangkah pelan ke belakang. “Bagus, ia tetap diam…”, lagi sua’ batinku. Perkuliahan pun berlanjut.

“Tak ada ‘benar-salah’ dalam sosiologi, melainkan ‘diterima atau ditolak’. Ini mengingat…,” paparanku terhenti. Sesaat kuamati bocah barusan, ia tampak gusar dan meraut gelisah, dicari-carinya sesuatu dalam tas yang sekira tak ditemunya. Ia mencari dan terus mencari, seperti pria gaek mencari pasangan. Kepayahan mukanya kulihat betul; eh, ia tampak putus asa. “Kasihan deh, Lu…”, lagi batinku bercuap. Apakah aku jahat?

Bocah itu tak lagi berkutik. Matanya menatap lurus sedikit melotot, kedua tangannya bertumpu dengkul kanan dan kiri terkesan menahan sesuatu, mirip orang kontraksi: Apa ia buang air di kelas *&^%$#@!?

Tak kuhiraukan lagi bocah itu, setidaknya ia sudah hening. Hanya saja, kalau nanti tercium bau busuk; pastilah itu bersumber darinya. Memang, sejak dulu kuperhatikan perangainya cukup aneh. Ia sering terlihat was-was, tatapannya kerap hampa, sesekali kupergok ia tampak menahan sakit, tapi tak sampai merintih. Au ah.

Empat puluh menit berselang. Kuliah usai.

Segerombol mahasiswa pria-wanita-waria mulai menyerbu pintu. Kadang ku bertanya-tanya tentang pintu kelas ini. Dari luar, ia dinamakan “pintu masuk”; sedang dari dalam, ia dijuluk “pintu keluar”. Kok bisa ya? Oh iya, inilah kuldesak; satu pintu untuk keluar-masuk. Tuhan, kenapa aku memikirkan hal-hal yang tak penting?

Kelas mulai sepi, sekedar tertinggal beberapa mahasiswa, tapi bocah itu sama sekali tak bergeming. Posenya tetap sama, tak bergeser barang sesenti pun. Beberapa mahasiswa juga mulai terheran-heran, bertataplah mereka satu sama lain: “Ada apa gerangan?”. Eng-ing-eng.

Ku melangkah pelan menghampirinya. Ia balas tak mengacuhkanku; tatapannya tetap sama: melotot lurus ke depan, dan … kosong.

“Heh, kamu nggak kenapa-napa kan?” aku mencoba dirinya.
“…” tak ada respon.
“Heh, halooo?” kugerakkan pergelangan tangan kananku tuk menghalau pandangannya. Sama saja.

Sejurus, kulancarkan tangan kiri pada lengan kanan bocah itu tuk menggodanya bergerak.

Ya, ia bergerak; tapi langsung ambruk begitu saja. Kutadah hidungnya tuk meraba hembusan nafas, kosong. Kupegang tangannya, dingin.

…ia MATI!

Tak menunggu lama, lima personel poliysi tiba di TKP, satu di antaranya mengenakan jeans biru, pakaian putih kerah, dan jaket kulit hitam; tampilannya bak detektif, “…atau mungkin ini ya yang namanya penyidik? Entah.”, ucap batinku nan suci-murni. “Memang, ku tak tahu-menahu istilah dalam kepoliysian, juga cara kerja mereka; kecuali poliysi tidur yang kerjanya tidur terus”, lanjut batinku.

“Bapak harus ikut kami ke kantor,” ucap si poliysi detektif.
“Hah, saya Pak?” aku terhenyak.
“Iya, kamu. Siapa lagi, masa bapakmu,”
“Ya tak apa Pak, kalau mau ambil bapak saya,”
“Heh, kamu itu lho! Kamu yang ikut! Kamu beneran dosen bukan sih, dodol beud!”
“Iya, saya dosen Pak, tapi bapak saya juga dosen; guru besar malah. Gimana, mau ambil bapak saya aja, Pak?”
“Dodol! Kamu ikut kami!”

Karuan, kepalaku mual, perutku pusing; ini kali pertama ku berurusan dengan pihak berwajib. Aku betul-betul digelandang, aku diciduk.

Sesampainya di kantor poliysi, aku ditanya-tanya; pun kujelaskan kronologi kejadian yang menimpa bocah itu; mahasiswa yang meregang nyawa di kelasku.

“Kamu tersangka!” seketika, ucapan itu terlontar dari mulut pak poliysi di hadapanku, ia juga tengah mengoperasikan mesin tik. Aku ingin pingsan, tapi tak bisa pingsan; aku ingin milkshake vanila, tapi hanya ada segelas air putih.
Kukuatkan diri tuk berkata-kata. “Pak, bagaimana bisa Anda langsung menetapkan saya sebagai tersangka?!”
“Ya bisya dong, saya kan poliysi,”
“Dasarnya apa, Pak?!”
“Anak itu tertawa karena melihatmu, itu salahmu; mungkin penampilan atau caramu mengajar membuatnya tertawa. Kamu memarahinya, membuatnya kaget, dan membuatnya membutuhkan suntikan insulin yang tak dibawanya; itu salahmu. Ia terlalu takut menelpon atau keluar kelas karena barusan kau marahi; itu salahmu. Pokoknya kamu yang salah!”
“Oh, begitu ya, Pak?”
“Iya, simpel kan!”
“Iya e Pak, kok simpel banget ya, Pak?”

Segera ku dijebloskan ke penjara; tanpa pengacara, tanpa persidangan. Aku yang sejam lalu masih berstatus sebagai dosen dan mengajar, kini menjadi tahanan. Status kepegawaianku dicabut, dan mungkin; sebentar lagi istriku juga bakal mencabut cintanya dariku; semoga tidak anak-anakku…

Malam pertama di penjara adalah tragedi besar kemanusiaanku. Ketakutanku akan ketidakbebasan benar-betul comes true. Aku terpenjara. “Eh, beneran nih aku dipenjara? Jangan becanda gitu dong. Beneran nih? Eh, bener ya?! Masa sih? Becanda, Lu? Masa aku dipenjara? Aku kan orang baik-baik…”, demikian upayaku meyakinkan diri; bercuap dengan diri sendiri.

Keesokan paginya…

Teng! Teng! Teng! Teng! Seorang poliysi memukuli jeruji sel tempatku menghabiskan nyawa dengan percuma.

“Bangun kau! Bangun!”
“Ya … ada apa ya, Pak…?” harusnya ia tak perlu berteriak, karena memang aku tak tidur semalaman.
“Putusanmu sudah keluar dari pengadilan,”
“Hah, putusan?”
“Iya, putusan. Masa sambungan!”
“Oh, iya ya. Gimana Pak putusannya?” penuh rasa ingin tahu ku bertanya, meski diriku sama sekali tak tahu-menahu soal persidangan. Harapku, semua tak lebih dari salah paham.
“Kamu dihukum mati!”
“Lho, kok bisa seenaknya gitu, Pak?!”
“Bisa dong, ini kan Republik Endoneysa,”
“Ya sudah, kalau gitu saya jadi warga negara yang seenaknya saja!”
“Ya sana enak-enakin aja di penjara,”
“Bajigur kamu, Pak!”
“Mending ya saya bajigur, daripada kamu: PEMBUNUH!”
“Kampret!”
“Kamu itu!”
“Kamu!”
“Kamu!”
“Aku!”
“Nah, tuh kan!”
“Bajigur! Salah ngomong!”

Well, aku dihukum mati. Hendak bagaimana lagi? Dan ini Endoneysa.

Ada dua kematian yang dilalui setiap manusia dalam hidup; aku telah melalui yang pertama: kematian karakter. Dan kini, menanti kematian kedua sekaligus terakhirku: kematian biologis.

Seminggu berselang. Aku bak seonggok daging yang membangkai. Tapi, yang terparah bukan itu, tiada orang sudi menjengukku; orangtua, istri, anak; semua tak ada. Seketika, teringatku pada kata-kata seorang sastrawan besar dari negeri seberang, Pramoedya Ananta Toer: “Orang bisa merampas kebebasan bercakap dengan orang lain, tapi, bercakap dengan diri sendiri; siapa gerangan bisa merampasnya?!”. Itulah rutinitasku sekarang; mengajar diri sendiri.

“Betul kamu dosen pembunuh itu?” tiba-tiba seorang poliysi menanyaiku. Sama sekali tak kudengar derap langkah mendekat dari luar sel sebelumnya. Dan memang, aku tengah membelakangi jeruji, meratapi tembok absurditasku.
Segera ku berbalik dan berkata lirih, “Iya, benar…,”

Tak pernah ku melihat atau bertemu papas dengan poliysi yang satu ini. Apakah ia malaikat penjemput nyawaku? Wajahnya cerah, pembawaannya tenang, cara bicaranya juga halus. Apa memang orang-orang seperti ini yang ditugaskan tuk membawa “kabar gembira” itu?

“Betul kamu dulu mengajar sosiologi?” ia kembali menanyaiku.
“Iya, betul…”
“Bagus, ini hari keberuntunganmu,”
“Ya, cepat-lambat hari itu bakal tiba…” jawabku pasrah.
“Apa maksudmu?” tanya balik si poliysi cepat.
“Hari yang dijanjikan, hari kematianku…”
“Oh, bukan itu, bukan,”
“Hah, bukan ya? Lalu apa ya?”
“Begini, kami sedang mengalami kekosongan jabatan di divisi humas kepoliysian. Kami berniat mengangkatmu untuk mengisi kekosongan itu,”
“Hah, saya? Ciyus?!”
“Ciyus!”
“Kok saya, Pak? Kok nggak poliysi-poliysi yang lain?!”
“Yang lain pada nggak mau e, kamu aja ya,”
“Tapi, saya kan tersangka, Pak. Sebentar lagi saya dihukum mati lho,”
“Hukumanmu sudah dicabut. Beres kan?”
“Kok enak banget gitu ya Pak, nyabut hukuman?”
“Enak dong, ini kan Endoneysa. Kemarin aku udah bilang sama poliysi-poliysi lain di warung kopi,”
“Oh gitu ya Pak, oke deh Pak kalau gitu,”
“Nah, gitu dong… Deal?”
 “Deal!”
“Jadi, mau tirai nomor berapa?”
“*&^%$#@!”

Demikianlah keabsurdanku. Betapa mudah hidupku berubah 360 derajat. Sedari dosen, menjadi tahanan, lalu kini: menjadi seorang poliysi yang taat. Betapa kurang ajar nasib dan perasaan mempermainkanku.

Aneh ya? Aneh dong. Ini kan cuma TULISAN.

*****

Denpasar, 28.03.15 | 09.39

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger