"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Selasa, 14 Juli 2015

Keinsyafan dan Kesadaran

Keinsyafan dan Kesadaran
(satu lagi tulisan saya yang tak bertanggung jawab)



Wahyu Budi Nugroho

Orang-orang seperti Marx dan Bourdieu menganggap kesadaran sebagai pemahaman akan segala sesuatu yang tak bersifat sui generic, atau taken for granted, atau “apa adanya”; melainkan sebentuk pengetahuan bahwa segala sesuatunya sengaja dikonstruksi oleh kuasa adikodrati atau transenden—kekuatan yang melampaui segala yang diciptanya: sebuah infrastruktur yang menopang superstruktur. Marx akan dengan senang hati menyebutnya sebagai kekuatan ekonomi, sedangkan Bourdieu: “struktur kognitif”. Pemahaman bahwa segala sesuatunya dikonstruksi, dan kita selaku subyek maupun kolektif, dapat turut andil dalam penciptaan konstruksi tersebut; merubahnya, atau bahkan meruntuhkannya: inilah yang dinamakan kesadaran! Secara lebih spesifik, Marx menyebutnya sebagai true consciousness ‘kesadaran yang benar’, sedangkan Bourdieu, doxa ‘lompatan habitus’. Bagi Bourdieu, doxa bukanlah tujuan akhir, masih terdapat ortodoxa dan heterodoxa; namun kali ini, saya tak tertarik mendiskusikan apa yang hadir setelah kesadaran, bolehlah dikata sementara ini: There is nothing behind it.

Apakah hadirnya keinsyafan sama dengan proses munculnya kesadaran? Inilah yang ingin saya bahas sekarang. Semenjak kesadaran bersifat intensional—consciousness is always consciousness of something—maka, begitu pula dengan keinsyafan: keinsyafan selalu keinsyafan akan sesuatu. Bisa jadi, keinsyafan terhadap rokok, minuman keras, sex bebas, atau yang lainnya. Di awal paparan ini, kita menemukan titik temu antara keinsyafan dengan kesadaran, bahwa baik keduanya memerlukan obyek bagi pondasi eksistensinya. Akan tetapi, sebentar lagi, ya, sebentar lagi, kita akan sampai pada perenggangan titik tersebut hingga mencipta jalan masing-masing, katakanlah; keinsyafan ke samping kanan, dan kesadaran ke samping kiri (hehe). Ini terjadi manakala kita beralih pada konsep kesadaran yang berbasis pada keragu-raguan cartesian, serta spontanitas impersonal yang lahir melalui ex-nihilo. Dapatkah keinsyafan lahir dari keragu-raguan? Bukankah keinsyafan merupakan keteguhan tanpa celah, keyakinan akan dunia baru sehingga kita mantap mendiaminya?

Dalam doktrin teistis, keragu-raguan selalu identik dengan setan, iblis, atau mereka yang tak beriman, bahkan terdapat pula adagium: “Setan adalah keragu-raguan”. Seperti halnya waktu senggang, keragu-raguan ditempatkan sebagai akar dari segala kejahatan. Begitu pula, keinsyafan selalu identik dengan hak prerogatif Tuhan; hidayah, rahmat; yang turut menjadi persoalan adalah, mungkinkah kita merasionalkan hidayah sebagaimana konsep kesadaran? Jika ini dimungkinkan, maka persamaan antara keinsyafan dengan kesadaran akan kian dekat, namun jika tidak, keinsyafan pun akan berlari menjauhi kesadaran, dan begitu pula sebaliknya. Ada satu paparan Kierkegaard yang memberi harapan titik temu antara keinsyafan dengan kesadaran, yakni perihal “lompatan iman” yang dilakoni manusia sedari kehidupan estetis menuju etis, dan pada akhirnya menuju kehidupan religius. Masing-masing lompatan tersebut mengandaikan kehampaan manusia yang muncul lewat keragu-raguan—Apakah aku terselamatkan?—sehingga ia memilih beralih pada kehidupan selanjutnya (etis), dan selanjutnya (religius). Kehampaan di setiap tahap tersebut pun berkelindan dengan konsep spontanitas impersonal yang muncul melalui ex-nihilo: bahwa kekosongan itulah yang menuntut kita untuk bertindak, juga memilih.

Poin penting yang dapat diambil dari konsep keinsyafan-kesadaran Kierkegaard di atas adalah “merasai” dan “mengalami”. Pengalaman merupakan sebab urgen bagaimana keinsyafan dan kesadaran dapat timbul; mengutip Heidegger: kita tak berada dalam kehidupan, melainkan kitalah kehidupan itu sendiri; kita tak berada dalam dunia, kitalah dunia. Namun persoalannya, bukankah tak setiap pengalaman memunculkan keinsyafan atau kesadaran. Di sini, konsep “mengalami” Kierkegaard telah gagal menjelaskan proses hadirnya keinsyafan ataupun kesadaran. Bisa jadi, konsep Heidegger tentang “dunia yang tak berjalan semestinya” sehingga menimbulkan angst ‘kegelisahan’ lebih dapat diterima bagi munculnya kesadaran; bahwa sekedar pengalaman-pengalaman spesifik-lah yang memungkinkan munculnya hal tersebut. Ini dapat diterima bagi kesadaran, namun tidak sepenuhnya bagi keinsyafan mengingat keinsyafan dapat muncul secara tiba-tiba—ingat ilmu laduni—ia seperti tirai yang tersibak begitu saja, dan seketika kita dapat berkata: “Aku melihat terang!”.

Di sini, tampak jelas jika keinsyafan tak memerlukan keragu-raguan, juga ex-nihilo. Secara rasional, keinsyafan merupakan totalisasi tanpa totalisator yang tegas lagi jelas. Bisa jadi, keinsyafan telah ada dan tergeletak begitu saja bagi kita; hingga kita memungut untuk kemudian memilih atasnya, dan bertindak akannya. Namun, apa yang membuat kita memutuskan untuk memungut atau tidak memungutnya? Bagaimana mungkin ada totalisasi tanpa totalisator???

There is something behind it.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih banyak gan .. berkat artikel ente tulisan ilmiyah saya selesai di tipepedia.com judulnya Etika Penelitian yang Sebaiknya Dilakukan Oleh Peneliti. semoga banyak pengunjungnya gan blognya keren

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger